iDNews.co, Nasional - Sejak tahun 2014, presiden Jokowi meluncurkan program nawacita. Membangun Indonesia dari Pinggiran Desa untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat desa. Salah satu realisasi program tersebut yakni adanya dana desa dari pemerintah pusat untuk desa-desa di seluruh Indonesia.
Dana desa tersebut dapat digunakan oleh desa, baik dalam pembangunan infrastruktur desa, pemberdayaan masyarakat desa, maupun pelayanan publik desa untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat desa.
Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar menyampaikan bahwa hingga 11 juli 2021 sebesar Rp 28,82 triliun dana desa atau 40,02 persen dari Rp 72 triliun yang dianggarkan telah dicairkan. Dana desa ini telah dicairkan ke 69,661 desa atau sebesar 92,93 persen dari 75.961 desa di Indonesia (kompas, 2021).
Lihat Juga:
Besarnya anggaran dana desa yang diterima dan dikelola oleh pemerintah desa tersebut harus menjadi perhatian berbagai pihak yang ada di desa untuk bersama-sama mengawasi dan mengelolanya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hal ini perlu dilakukan, karena meningkatnya kasus korupsi dana desa yang terjadi. Komisi Pemberantasan Korupsi mencatat, sudah ada 601 kasus korupsi yang menyeret Kepala Desa dan perangkat desa.
Ada juga titik rawan korupsi dalam proses pengelolaan keuangan desa. Titik rawan tersebut terdapat pada tahap perencanaan anggaran dan tahap implementasi anggaran.
Pada tahap perencanaan anggaran, yang seharusnya melibatkan masyarakat dalam berpartisipasi untuk membahas bersama Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (RAPBDes) melalui musyawarah desa (Musdes), justru hanya diikuti oleh elite, orang terdekat Kepala Desa, dan perangkat desa. Sehingga program RAPBDes yang disusun dan direncanakan sebenarnya adalah keinginan dari Kepala Desa yang memegang kendali untuk keuntungannya.
Lihat Juga:
Gubernur Ollу Dоndоkаmbеу Lаntіk 132 Kepsek untuk Tіngkаtkаn Mutu Pеndіdіkаn di Sulut
Pada tahap ini, indikator terjadinya korupsi yakni RAPBDes yang tidak sesuai dengan skema Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes). Selanjutnya, harga dan volume per item yang hendak diadakan tidak sesuai dengan kondisi harga yang berlaku umum, baik dengan mark up maupun mark down
Tahap perencanaan anggaran yang cenderung didorong motivasi korupsi memiliki indikator yang mudah terbaca. Terlihat jelas dalam Penyusunan Rencana Anggaran Desa (RAPBDes) yang tidak sesuai dengan skema Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes).
Kemudian volume rencana anggaran per item kegiatan yang tidak sesuai dengan pagu anggaran yang berlaku umum di tingkat kabupaten. Tim penyusun RAPBDes tidak sesuai dengan klasifikasi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri. Sehingga pemegang kekuasaan penyusun RAPBDes sebenarnya ada ditangan seorang Kepala Desa.
Kemudian kedua, tahap implementasi anggaran. Pada tahap ini, umumnya dilakukan oleh Kepala Desa, Bendahara Desa, Sekretaris Desa, dan Tim Pelaksana Kegiatan (Timlak) yang menangani program pembangunan fisik dan pemberdayaan masyarakat. Selain itu, kerentanan korupsi pada tahap pelaksanaan yakni proses pengadaan barang dan jasa.
Lihat Juga:
Hal itu dilakukan dengan memanfaatkan kolusi dengan pihak ketiga (rekanan) untuk menaikkan harga barang dalam laporan, dan menurunkan kualitasnya dalam praktik di lapangan. Padahal pengadaan barang dan jasa di tingkat desa, telah diatur komprehensif mekanismenya dalam Peraturan LKPP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pedoman Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa di Desa.
Adapun faktor penyebab rentannya korupsi dana desa, khususnya pada 2 (dua) tahapan tersebut disebabkan oleh 3 (tiga) faktor yang saling berkaitan.
Pertama, lemahnya pengawasan institusi (lembaga) yang memiliki otoritas dalam pengawasan di tingkat desa. Perlu dipahami bahwa kinerja lembaga pengawas, seperti Inspektorat Kabupaten/Kota, BPKP, dan BPK belum optimal dalam melakukan pengawasan, pemeriksaan, dan audit pengelolaan anggaran desa.
Hal itu karena terbatasnya Sumber Daya Manusia (SDM) dan anggaran lembaga tersebut untuk mengawasi seluruh desa di Indonesia yang mencapai 75.436 desa.
Kemudian kedua, rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengawasan APBDes. Masyarakat hanya banyak dilibatkan dalam pelaksanaan, yang juga rentan praktik korupsi dan kolusi. Sedangkan pada tahap perencanaan masyarakat tidak dilibatkan secara substantif, melainkan semu, karena sebatas memenuhi syarat peraturan perundang-undangan, tanpa memberikan kontribusi pengawasan atau masukan optimal.
Lihat Juga:
Selebrasi Paskah Remaja Sinode GMIM (SG) di Wilayah Minawerot Minut, Dipadati sekira 40 ribu peserta
Selanjutnya ketiga, rendahnya transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan desa. Masih adanya pengaruh feodalisme di desa-desa, menyebabkan masyarakat memandang kepala desa memiliki kuasa mutlak dalam perencanaan, dan pelaksanaan pengelolaan keuangan desa. Selanjutnya diikuti oleh perangkat desa, elite desa, dan badan permusyawaratan desa (BPD) hanya sebagai kekuatan pendukung kepentingan kepala desa.
Modus-modus korupsi dana desa ini memberikan dampak buruk bagi kesejahteraan masyarakat desa. Lebih lanjut, korupsi tersebut berdampak pada langgengnya kemiskinan di desa, hilangnya potensi ekonomi di desa, hancurnya modal swadaya masyarakat, dan terhambatnya demokrasi partisipasi desa.
Untuk itulah, dibutuhkan peningkatan dan kesadaran partisipasi seluruh elemen masyarakat dalam pencegahan korupsi untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat desa
Penulis berharap, masyarakat desa terus menjalin komunikasi dua arah dengan pemerintah desa guna mengawasi pembangunan yang ada di desa. Bersama kita peduli dan jaga dana desa untuk kesejahteraan bersama.
(Rukminto Rachman)