"Badut Jalanan Dibubarkan di Manado, Perspektif Kemanusiaan vs Aturan Daerah".
Hj.Soeprapti,S.Sos |
IDNEWS.CO, MANADO, - Polemik mengenai keberadaan badut jalanan di Kota Manado telah memancing berbagai tanggapan dari netizen.
Aksi penangkapan yang dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Sat Pol PP) dan Dinas Perhubungan Pemerintah Kota Manado, terhadap para badut jalanan tersebut mendapat reaksi sinis dari netizen yang secara aktif menyampaikan kritik melalui media sosial terkait kebijakan tersebut.
Sebagian netizen merasa iba ketika badut-badut tersebut dipaksa meninggalkan tempat di area lalu lintas yang biasa mereka gunakan sebagai panggung, bahkan ada yang menyatakan rasa kekecewaan karena badut-badut tersebut hanya mencari nafkah dengan segala keterbatasan.
Saat penertiban para badut oleh dishub dan sat pol pp manado,(foto tribun news) |
Terlebih lagi, anak-anak kecil yang biasanya senang melihat badut saat berhenti di lampu merah, bertanya-tanya kepada ibu mereka mengapa badut-badut itu menghilang. Mereka terbiasa dengan aksi badut yang selalu menyapa dan menari riang sambil mengiringi musik.
"Mama, badut-badut itu kemana? Aku tidak bisa melihat mereka lagi. Aku kasihan, aku ingin memberikan uang agar mereka bisa pulang dan mendapatkan balon," ujar seorang gadis kecil dengan dialek Manado seperti yang dikutip dalam unggahan di media sosial.
Polemik ini menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat, di mana sebagian besar mengomentari tindakan Sat Pol PP dan Dinas Perhubungan yang terkesan arogan dan kurang manusiawi, padahal badut-badut tersebut hanya berusaha mencari nafkah.
Merespons hal ini, salah satu calon legislator provinsi dari dapil Manado, Hj. Soeprapti, S.Sos, ikut memberikan tanggapannya.
Soeprapti mengungkapkan bahwa tindakan penertiban tersebut didasarkan pada Peraturan Daerah (Perda) Kota Manado Nomor 2 Tahun 2019, khususnya Pasal 8 huruf a, Pasal 19 ayat (1) a dan g, Pasal 20 ayat (1), serta Pasal 21 huruf a dan b. Peraturan tersebut dengan jelas melarang kegiatan di jalan raya, termasuk pengemis, gelandangan, pengamen, dan pengemis sumbangan.
"Peraturan tersebut sangat jelas, dan siapa pun yang melanggarnya akan ditindak sesuai dengan ketentuan yang tercantum," ungkap Soeprapti saat diwawancarai melalui telepon seluler oleh awak media pada Kamis Malam (6/7/2023).
Namun, Ketua APERSI Sulawesi Utara ini juga menegaskan pentingnya melihat situasi dari berbagai sudut pandang, bukan hanya terfokus pada aspek peraturan semata. Ia menyatakan bahwa badut-badut jalanan sebenarnya hanya mencari penghidupan dan mencukupi kebutuhan keluarga mereka, dari sudut pandang kemanusiaan.
"Kemanusiaan juga perlu diperhatikan, saya melihat badut-badut ini beraktivitas di jalan selama hampir dua bulan tanpa menimbulkan masalah. Mereka tidak menunjukkan perilaku anarkis atau mengganggu ketertiban. Mereka hanya mencari nafkah," jelas Soeprapti.
Ia menambahkan bahwa tidak ada unsur pemaksaan dari pihak badut kepada masyarakat, bahkan anak-anak sangat senang saat badut melakukan aksinya ketika kendaraan berhenti sejenak di lampu merah. Anak-anak dengan senang hati memberikan sebagian uang sebagai imbalan.
"Mereka bukan pengemis. Setiap kali masyarakat memberikan uang receh, badut-badut tersebut menukar uang tersebut dengan balon. Jadi, pada dasarnya mereka hanya mencari nafkah untuk hidup," terang Soeprapti.
Soeprapti juga menyatakan bahwa pemerintah seharusnya mencari solusi terbaik dalam menangani situasi ini. Ia memperhatikan bahwa sebagian besar badut jalanan tersebut tinggal di sekitar pasar Paal Dua dan merupakan bagian dari masyarakat Kota Manado.
"Pemerintah seharusnya bersyukur bahwa generasi muda ini berusaha mencari nafkah daripada berkeliaran, menganggur, atau terjerumus dalam perilaku negatif yang mengganggu ketertiban. Keberadaan mereka dapat mengurangi tingkat kriminalitas, terutama di tengah kondisi sulit dalam mencari penghidupan. Oleh karena itu, kepekaan sosial harus menjadi prioritas, bukan hanya tindakan penertiban semata," tutur Soeprapti. (Yudi Barik)