Penulis: Efraim Lengkong. (pemerhati sejarah dan adat budaya).
Efraim lengkong, pemerhati sejarah dan adat budaya minahasa, (foto istimewa) |
"Penulis juga adalah generasi ke 5 (lima) dari 'Ibrahim Lengkong'.
IDNEWS.CO, MANADO,- Berdirinya Kota Bitung tentunya tidak lepas dari, Wanua u're Kelurahan Tanjung Merah Bitung. Dimana lahir nya Kota Bitung berasal dari 'embrio' yang dititiskan oleh 'Tou Tana' Rundang.
Fakta 'tutur' sejarah yang dituturkan secara turun temurun, dimana wilayah Negeri Tanjung Merah sudah mulai dihuni manusia pada tahun 1810.
Bitung mulanya hanya dijadikan sebagai pos pengintai untuk mengawasi kedatangan 'bajak laut 'Mangindano' (Mindano), Filipina Selatan, yang disebut te’dong (orang jahat). Pos tersebut menjadi tempat pengintai agar dapat memberikan signal peringatan, apabila ada musuh yang akan memasuki wilayah Tanjung Merah dan Kema hal mana Kema merupakan bandar terbesar di wilayah Tonsea saat itu. Tempat pengintaian tersebut sampai sekarang disebut 'Sondaken', yang artinya ‘mengintip’ atau ‘mengintai’.
Orang-orang yang ditempatkan di pos pengintai itu terdiri dari Wadian (pemimpin agama), Tonaas (pemimpin adat) dan Waraney (prajurit perkasa). Yang pertama dikirim dari keluarga Wadian Tewu Tanod dari negeri Treman dan Ibrahim Lengkong yang kemudian dikenal 'Opo Bugis' dari Negeri Tumaluntung (saat ini masuk wilayah kecamatan kauditan).
Setelah itu berdatangan pula beberapa keluarga antara lain keluarga Roti, keluarga Wullur, keluarga Siby, keluarga Sompotan dan keluarga Ganda, dari Minawerot (saat ini kecamatan kauditan)
Pada tahun 1827 Tana’ Rundang disahkan sebagai wanua (negeri) melalui suatu upacara adat yang dipimpin Dimia um Banua, yakni Opo Nusa, Opo Simedeman dan Opo Matindas dari Laikit. Pada upacara itu sekaligus juga mengukuhkan Wadian Tewu Tanod selaku Tunduan Teterusan (pemimpin kampung panutan)
Pada tahun 1828 orang Mangindano datang dalam jumlah besar dan menyerang negeri baru itu. Menurut tutur cerita, para te’dong itu datang dengan menggunakan 4 (empat) pakata atau kora-kora (sejenis perahu besar) yang masing-masing membuat sekitar 150 orang. Maka terjadilah pertempuran yang mengakibatkan banyak korban di kedua pihak. Daratan Tumbuna dan air laut disekitarnya bersimbah darah sehingga disebut juga Tana’ Da’ (Tanah Darah). Pertempuran itu merupakan “arena perang” paling mengerikan sepanjang sejarah Negeri Tanjung Merah.
Menurut tutur dari orang tua-tua, walaupun dalam perang tersebut dimenangkan oleh orang 'tana rundang', tetapi panglima perang mereka yang bernama, Ibrahim Lengkong membiarkan dirinya untuk di tawanan orang 'Mindanao' karena malu, akibat dirinya terluka di bagian bawah telapak kakinya saat berperang. Untuk menghormati keperkasaan dari Ibrahim Lengkong pada keturunannya di Mindanao Filipina, maka nama Ibrahim Lengkong diabadikan dengan Nama Jalan Lengkong.
Pada tahun 1845 Negeri Tana’ Rundang secara administratif disahkan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai desa dan dimasukkan dalam wilayah kepolisian distrik Tonsea, Tewu Arnold Tanod tetap terpilih sebagai Hukum Tua atau Ukung Tua (kepala keluarga yang dituakan) tambahan nama Arnold adalah nama baptisnya seiring masuknya agama Kristen di negeri itu dan Ibrahim Bugis Lengkong dipercayakan sebagai Ketua Keamanan (Panglima Perang)
Nama Tana’ Rundang diganti menjadi Tanjung merah, walaupun dalam pergaulan sehari-hari orang Tonsea, tetap disebut Tana’ Rundang sampai sekitar tahun 1950 - 1960.
Adapun akses jalan dari Manado menuju Bitung saat itu, Via Kema - Tanjung Merah lewat jalan Efraim Lengkong Manembo-nembo, Girian - Kota Bitung.
Seiring dengan perkembangan kota Bitung, Tanjung Merah berubah status menjadi kelurahan ketika Bitung diresmikan sebagai kota administratif dan kemudian menjadi kotamadya.
'BITUNG KOTA PUSPAWARNA'
BERBICARA tentang kota Bitung, mengingatkan kita pada kota kuno Niniwe yang terletak di sebelah timur, timur laut kota Mosul Provinsi Ninawa Irak.
Disanalah Tuhan Allah pernah mengutus Nabi Yunus. (kitab Yunus 1 – 2). “Yunus dipanggil oleh Tuhan untuk pergi ke kota Niniwe.
Nama Kota Bitung konon diambil dari nama pohon 'bitung' yang pada saat itu banyak bertumbuh di pesisir pantai yang saat ini disebut “Candi" (depo Pertamina) memanjang sampai di pasar tua. Pohon - pohon tersebut menjadi tempat istirahat para nelayan dari teriknya matahari.
Pada Zaman Hindia Belanda, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan "besluit" (surat
ketetapan) tentang tanah -tanah yang dikuasai langsung oleh pemerintah Hindia Belanda dan ada juga tanah-tanah yang dikuasai oleh districk (wijk).
Abad 18, di pesisir pantai kota Bitung sudah ada orang yang secara berkelompok mulai merombak hutan untuk dijadikan lahan perkebunan.
Jumlah mereka tidak banyak dan kebanyakan dari mereka merupakan nelayan yang datang dari “Nusa utara” (Sangihe).
Awalnya komunitas mereka dalam interaksi “sosialnya” hidup rukun dan damai. Akan tetapi seiring dengan perkembangan lokal masyarakat tradisional, diberbagai dimensi sosial yang timbul dari adanya “imperialisme barat”, maka penduduk pribumi yang mengelola hasil bumi dari areal perkebunan mulai mendapat gangguan dan serangan dari orang-orang Mindano (Filipina).
Pada waktu itu penduduk pribumi mengkonotasikan mereka dengan 'konotasi' 'bajak laut' atau perompak, saat ini populer dengan sebutan “Jack Sparrow” (Pirates of the Caribbean).
Tahun 1854 - 1870 district Tonsea dipimpin Majoor Outford Pelenkahu, untuk mengamankan wilayah tersebut Palengkahu meminta bantuan dari orang orang yang saat itu disebut “orang sakti” dari Kampoeng Tandjoeng Merah (“tou tana rundang”).
Mereka itu adalah : Jusop Lengkong, Hermanus Sompotan, Elias Wullur, Jusop Siby, Habel Ganda dan seorang perempuan yang bernama Magdalena Rotti untuk menjaga dan mengamankan wilayah dari gangguan perompak laut.
Ke 6 (enam) orang tersebut dikemudian hari disebut 6 dotu (6 orang kramat).
Dalam menjalankan tugas, menjaga dan mengamankan wilayah pesisir pantai Bitung, mereka bersama dengan orang – orang yang sudah ada (orang orang yang datang dari Sanger -Talaud sebagai nelayan maupun pekerja tani di areal tersebut), bahu membahu merombak hutan untuk dijadikan lahan pertanian.
Tanah – tanah yang diduduki mereka dalam arti yang dijadikan areal perkebunan dengan sendirinya menjadi milik mereka bersama, termasuk orang orang yang sudah ada sebelumnya.
Pada waktu itu areal penjagaan/pendudukan dari ke 6 dotu, mulai dari Madidir sampai Aertembaga terus ketimur. Pada waktu itu wilayah penjagaan dan pendudukan dibagi 3 (tiga) bagian wilayah yaitu :
Wilayah penjagaan yang diduduki oleh Dotu Jusop Lengkong dan dotu Elias Wullur dibilangan pusat kota Bitung saat ini “Parigi Dolong”.
Wilayah penjagaan, pendudukan Dotu Habel Ganda dan Jusop Siby yaitu ” mulai dari sebagian Apelah (Pateten) sampai dibatas Aertembaga.
Wilayah penjagaan, pendudukan yang diduduki oleh Dotu Hermanus Sompotan dan Dotu Magdalena Rotti yaitu wilayah Aertembaga dan sekitarnya.
Diera “Rotinsulu menjabat sebagai kepala pemerintahan districk Tonsea (1911) pemerintah districk pernah berusaha keras untuk menjadikan “dua lokasi” dibitung untuk dijadikan areal perkebunan besar (erfpacht) yakni erfpacht untuk atas nama “Tan Tjin Bie” dan Erfpacht Pateten.
Kedua erfpacht tersebut mendapat tantangan dan perlawanan dari masyarakat pribumi dan orang orang yang sudah terlebih dulu datang bertani dan menduduki tempat tersebut. Hal ini berakhir disaat ” Rotinsulu digantikan oleh “E.H.W. Palengkahu sebagai kepala districk Tonsea yang juga turut bersama – sama menentang mati matian sehinga erfpacht yang dimaksud tidak terwujud, walaupun warga Tionghoa tersebut sudah mengantongi “Beslit”/SK dari Pemerintah Hindia Belanda.
Kota Bitung dulunya merupakan wilayah pemerintahan Districk Tonsea yang pusat pemerintahannya di Airmadidi. Juga diketahui bahwa Bitung masuk dalam pemerintahan Negeri (desa)Tandjung Merah under districk (kecamatan) Kauditan.
Seiring waktu wilayah Bitung semakin maju terjadi urbanisasi masyarakat transaksional dari berbagai wilayah berdatangan di kota Bitung.
Pelabuhan yang sebelumnya terbuat dari kayu, oleh Ir.TH Cool diganti dan dibangun konstruksi beton.
Kemajuan teknologi pendidikan semakin tinggi tuntutan sosial ekonomi makin mendesak membuahkan “degradasi 'moral' dan 'budaya malu'.
Rasa kepedulian, melindungi dan semangat gotong royong, kekeluargaan dari tou 'tana_rundang' cq keturunan 6 dotu semakin menipis.
Hal ini memicu pertikaian hukum “klaim sana sini dari para ahli waris pun terjadi, hal ini diakibatkan dari adanya oknum – oknum ahli waris yang 'egois dan tamak' ditambah adanya oknum pejabat yang berusaha memanfaatkan gemerlapnya kelap kelip lampu di Kota.
Pada tahun 1961 PM Tangkudung yang akrab disapa “papa nolla” mempersatukan para keturunan 6 dotu dan mendoulat dirinya sebagai ketua 6 dotu, sekertaris Jus Rumambi dan bendahara Daud Lengkong.
Tanggal 13 september 1961, PM Tangkudung membuat Peta seluas kurang lebih 600 ha dan disahkan oleh 4 Hukum Tua (lurah) yaitu Aertembaga/Pateten/Bitung Tengah dan Bitung Timur hal ini yang menjadi dasar dari para ahli waris untuk mendapatkan kembali hak ulayat mereka.
10 april 1975 Bitung menjadi kota Administratif dibawah Kabupaten Minahasa dengan Walikota Wempie A Worang dan kemudian diganti oleh SH Sarundajang 1986 – 1990. Pada 15 agustus 1990 Bitung berubah Status menjadi Kota Bitung yang definitif dengan Walikotanya Is LA Gobel april s/d Agustus.
Dan diera reformasi Milton Kansil menjadi Walikota pilihan DPRD Bitung 2000 – 2005.
Max Lumintang Pjs Walikota 2005 – 2006 dan kemudian Hanny Sondakh menjadi Walikota pertama pilihan rakyat 2006 – 2016 (2 priode).
2016 Max Jonad Lomban terpilih menjadi Walikota dan Wakil Mourits Mantiri.
Pada tanggal 31/3/2021, Maurits Mantiri terpilih dan dilantik sebagai Wali Kota Bitung dan Hengky Honandar sebagai Wakil Wali Kota Bitung,”.
Fenomena yang terjadi dalam rentang waktu 35 tahun kota Bitung ibarat bunga cantik yang lagi mekar.
Muncul pertanyaan, siapa pemimpin kedepan yang mampu mengurus dan menyirami agar bunga bunga tersebut terhindar dari krisis 'integritas' yang diduga sementara 'menderu' ?, dari tawaran tawaran dunia yang menggoda “seperti ilegal fishing – ilegal BBM Solar yang masih, mafia tanah, mafia hukum, traficing'. Bahkan tak ketinggalan kecantikan 'delila' turut menghiasi kota, 'multidimensi'.
Kondisi ini mengingatkan kita pada Kota kuno “Niniwe” yang membutuhkan seorang pemimpin yang memiliki suara kenabian yang berani berseru “tentang pertobatan dengan tidak memilih ras, suku, agama dan warna partai agar supaya kota Bitung lebih diberkati dan dijauhkan dari ” Murka Tuhan”.
editor, (yudi barik).