"Penghentian Penyelidikan Kasus KDRT di Manado Dipertanyakan, Kuasa Hukum Sebut Ada Bukti Psikologis".
foto ilustrasi |
IDNEWS.CO, MANADO, - Kasus dugaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang menimpa seorang ibu rumah tangga (IRT) di wilayah Manado kini mendapat sorotan serius, dengan tuntutan agar Polresta Manado segera mengambil tindakan cepat dan tepat dalam penyelesaiannya.
Berdasarkan pengakuan korban, kejadian bermula pada tanggal 23 April 2024, saat ia diduga mendapat ancaman pembunuhan dari mantan suaminya, disertai dengan tindakan pengurungan yang membatasi kebebasannya di dalam rumah, yang menurut korban merupakan pengalaman yang sangat traumatis.
Menghadapi situasi tersebut, korban merasa perlu untuk segera mencari bantuan dengan menghubungi call center 112 guna melaporkan kejadian yang dialaminya serta menghubungi ayahnya untuk mendapat dukungan lebih lanjut.
Tak lama setelah panggilan tersebut, petugas dari Tim Buser Polresta Manado segera mendatangi lokasi untuk menjemput korban dan membawanya ke kantor kepolisian agar ia dapat membuat laporan resmi terkait ancaman dan intimidasi yang diterimanya.
Namun, bukannya menerima Laporan Polisi (LP) yang formal, korban justru hanya diberikan surat pengaduan dengan Nomor 594/IV/2024/SPKT/POLRESTA MANADO, yang menurut kuasa hukum korban, tidak memadai untuk kasus dengan tingkat ancaman yang tinggi seperti ini.
Selanjutnya, pada tanggal 15 Juli 2024, korban merasa sangat terkejut ketika menerima Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) dari pihak penyidik Polresta Manado.
Isi dari surat tersebut menyatakan bahwa penyelidikan atas perkara yang ia laporkan dihentikan dengan alasan unsur pidana yang dilaporkan dianggap tidak terpenuhi.
Kuasa hukum korban, Citra Tangkudung, S.H., menekankan bahwa penghentian penyelidikan ini seakan mengabaikan bukti yang ada, mengingat pihak PPA Polresta Manado mendasarkan keputusan mereka pada hasil pemeriksaan dari psikolog Polda yang menyatakan tidak adanya unsur KDRT psikis.
Padahal, hasil dari psikolog klinis yang diperoleh UPTD PPA Kota Manado, yang diterima Polresta Manado pada 13 Mei 2024, justru menunjukkan adanya dugaan kuat tindak pidana KDRT, khususnya kekerasan psikis yang berdampak pada kondisi mental korban.
Tangkudung lebih lanjut menjelaskan bahwa berdasarkan Pasal 24 ayat 3a UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), bukti berupa surat keterangan dari psikolog klinis atau psikiater merupakan alat bukti yang sah dalam perkara KDRT, sehingga pihak penyidik tidak seharusnya menggunakan hasil dari psikolog Polda sebagai dasar untuk menghentikan penyelidikan kasus ini.
Menurutnya, tindakan penyidik yang mengabaikan keterangan psikolog klinis dari UPTD Kota Manado dapat dinilai sebagai bentuk pelanggaran prosedur, sehingga kliennya merasa diperlakukan tidak adil.
Setelah menerima SP2HP yang menyatakan penghentian perkara tersebut, korban bersama kuasa hukumnya segera mendatangi Inspektorat Pengawasan Daerah (ITWASDA) Polda Sulawesi Utara (Sulut) untuk mempertanyakan dan mencari kejelasan terkait keputusan penghentian penyelidikan yang dianggap janggal dan tidak berpihak pada korban.
Berdasarkan hasil pertemuan tersebut, ITWASDA akhirnya memberikan instruksi kepada Polresta Manado untuk membuka kembali perkara tersebut dan melanjutkan penyelidikan secara menyeluruh guna memastikan keadilan bagi korban.
Kuasa hukum korban turut mempertanyakan penanganan kasus yang menurutnya terkesan lambat dan berlarut-larut tanpa penyelesaian yang jelas, terutama mengingat bahwa ini bukan pertama kalinya korban mengalami tindakan kekerasan dari mantan suaminya.
Sebelumnya, pada Desember 2022, korban pernah melaporkan kasus kekerasan fisik yang dilakukan oleh mantan suaminya, namun laporan tersebut akhirnya dicabut setelah adanya kesepakatan damai dengan syarat mantan suami berjanji untuk tidak mengulangi tindakan kekerasan dalam bentuk apapun.
Meskipun demikian, korban merasa bahwa kesepakatan damai tersebut tidak dihormati oleh mantan suaminya, yang kembali melakukan tindakan intimidasi dan ancaman.
Situasi semakin rumit ketika korban, yang awalnya merupakan pelapor dan korban dalam kasus KDRT ini, justru kemudian menjadi terlapor dalam kasus pencemaran nama baik yang dilaporkan oleh mantan suaminya.
Dalam laporan yang dilayangkan oleh mantan suami tersebut, korban diduga menyebarkan informasi yang mencemarkan nama baik di media, khususnya terkait pengakuan korban yang merasa dikurung dan ditekan secara psikis oleh mantan suaminya.
Korban menegaskan bahwa pernyataannya tersebut semata-mata adalah pengungkapan apa yang ia rasakan dan alami, bukan upaya untuk mencemarkan nama baik mantan suaminya, dan merasa bahwa pelaporan ini merupakan bentuk kriminalisasi terhadapnya.
Kuasa hukum korban, Citra Tangkudung, menyatakan keprihatinannya atas perkembangan kasus ini yang justru menempatkan korban dalam posisi yang semakin tertekan secara psikologis.
Tangkudung menegaskan bahwa sebagai korban, kliennya berhak menyuarakan pengalaman traumatisnya, baik di media sosial maupun media lain, terutama untuk mencari keadilan.
Selain itu, korban juga menghadapi tantangan lain dalam hubungannya dengan anaknya yang masih berusia tiga tahun, di mana mantan suaminya disebut-sebut berusaha menjauhkan korban dari anaknya, meskipun hak asuh anak telah diberikan kepada korban berdasarkan keputusan pengadilan negeri Manado.
(Redaksi)