Ketua BPMS GMIM Resmi Ditahan, Pendeta Hein Arina Kenakan Rompi Oranye Usai Pemeriksaan Empat Jam

"Kasus 8,9 miliar, Lengkap Sudah Lima Tersangka Korupsi Dana Hibah GMIM".

Pendeta, Hein Arina saat digelandang ke ruang tahanan Polda Sulut,(foto idnews.co)

IDNEWS.CO, HUKRIM, Polda Sulut,- Setelah menjalani pemeriksaan Intensif selama kurang lebih Empat Jam oleh Tim Subdirektorat Tindak Pidana Korupsi Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Sulawesi Utara, Ketua Badan Pekerja Majelis Sinode (BPMS) Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM), Pendeta Hein Arina, akhirnya ditetapkan sebagai tersangka dan langsung ditahan, Kamis (17/4/2025) sore.


Pendeta Hein, yang juga dikenal sebagai sosok sentral dalam struktur kepemimpinan gereja terbesar di Sulawesi Utara tersebut, datang memenuhi panggilan penyidik sekitar pukul 10.50 Wita, dan tanpa banyak bicara langsung memasuki ruang pemeriksaan yang berada di lantai satu ruangan Tipidkor, untuk menjalani proses klarifikasi dan pendalaman atas dugaan keterlibatannya dalam perkara korupsi dana hibah GMIM yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara.


Proses pemeriksaan berlangsung secara tertutup dan dijaga ketat oleh aparat keamanan internal Polda, sebelum akhirnya sekitar pukul 15.25 Wita, sosok yang selama ini disapa “Pendeta Hein” tersebut terlihat keluar dari ruang penyidik dengan mengenakan rompi oranye khas tahanan tindak pidana korupsi, sambil dikawal ketat petugas menuju ruang tahanan sementara Subdit Tipidkor.


Meski dicegat sejumlah awak media yang sejak pagi telah menunggu di pelataran Gedung Krimsus Polda Sulut untuk meminta pernyataan atau tanggapannya terkait status hukumnya, Pendeta Hein hanya sempat memberikan komentar singkat dengan nada tenang seraya tersenyum dan melambaikan tangan ke arah wartawan, “Nanti pengacara saya saja yang menjelaskan semuanya,” ujarnya singkat, sebelum melanjutkan langkah menuju ruang tahanan.


Sebelum proses pemeriksaan berlangsung, pada pagi hari yang sama, sejumlah warga jemaat GMIM yang terdiri atas unsur pengurus sinode, para pendeta serta simpatisan lainnya, terlihat berkumpul dan menggelar aksi damai secara tertib di halaman depan Markas Polda Sulut, sebagai bentuk dukungan moral dan spiritual kepada sosok Pendeta Hein yang saat itu tengah menjalani pemeriksaan hukum atas kasus yang tengah menjadi sorotan publik di Sulawesi Utara.


Dengan ditahannya Pendeta Hein Arina, maka pihak kepolisian kini telah resmi menahan kelima tersangka utama yang diduga terlibat dalam skandal korupsi dana hibah GMIM senilai total Rp8,9 miliar lebih, yang bersumber dari APBD Provinsi Sulawesi Utara dalam rentang waktu tahun 2020 hingga 2023, dan berdasarkan hasil audit telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp8.967.684.405.


Lima tersangka yang ditahan dalam kasus ini meliputi sejumlah pejabat tinggi dan tokoh penting, yakni:


1.Steve Kepel, mantan Sekretaris Daerah Provinsi Sulawesi Utara pada tahun 2022;


2. Asiano Gammy Kawatu, mantan Kepala Badan Keuangan dan Aset Daerah pada periode 2018 hingga 2019, yang juga pernah menjabat sebagai Asisten Administrasi Umum pada Sekretariat Daerah Pemprov Sulut antara tahun 2020 hingga 2022;


3. JRK alias Jefry, yang menjabat sebagai Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah pada tahun 2020.


4. Fereydy Kaligis, yang sejak Juni 2021 hingga saat ini menjabat sebagai Kepala Biro Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Pemerintah Provinsi Sulut.


5. Dan Pendeta Hein Arina, selaku Ketua BPMS GMIM yang menjadi pihak penerima hibah atas nama lembaga sinode.


Kapolda Sulawesi Utara, Inspektur Jenderal Polisi Rocky Langie, dalam keterangan pers sebelumnya menjelaskan bahwa dugaan tindak pidana korupsi tersebut terjadi dalam mekanisme penganggaran, penyaluran, serta pertanggungjawaban dana hibah dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara kepada Sinode GMIM, yang dalam praktiknya ditemukan tidak sesuai dengan prosedur administrasi keuangan negara, serta menyimpang dari peruntukan sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.


Menurut Irjen Pol Rocky Langie, penyimpangan tersebut tidak hanya menunjukkan unsur kelalaian administratif, tetapi juga mengarah pada tindakan kesengajaan dalam penyalahgunaan kewenangan oleh oknum-oknum terkait, yang diduga dilakukan secara sistematis demi keuntungan pribadi, kelompok, maupun pihak ketiga tertentu, sehingga menimbulkan kerugian negara yang signifikan.


Kapolda juga memberikan apresiasi tinggi kepada jajaran penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus yang dinilai telah bekerja secara profesional, independen, dan tidak terpengaruh oleh intervensi pihak mana pun, dalam mengungkap kasus ini hingga menetapkan lima tersangka utama.


“Saya sangat menghargai integritas dan dedikasi tim penyidik yang telah bekerja berdasarkan hukum serta ketentuan yang berlaku, tanpa memihak, tanpa tekanan, dan tetap menjaga independensi institusi dalam menangani perkara yang menyita perhatian publik ini,” ujar Irjen Pol Rocky Langie.


Saat ditanya mengenai kemungkinan adanya penambahan tersangka baru dalam perkara ini, Kapolda menjawab diplomatis dengan perumpamaan, “Membaca perkara ini seperti membaca sebuah buku. Kita sudah masuk bab pertama dan bab kedua, selanjutnya mari kita lihat bagaimana perkembangan ceritanya ke depan,” tandasnya.


Sementara itu, kuasa hukum tersangka Steve Kepel, Vebry Tri Haryadi, dalam pernyataannya beberapa waktu lalu, menyampaikan bahwa dalam dokumen perjanjian hibah antara Pemerintah Provinsi Sulut dengan GMIM, terdapat tanda tangan sah antara Gubernur Sulawesi Utara saat itu, Olly Dondokambey, dengan Ketua Sinode GMIM, Pendeta Hein Arina, yang dilakukan di atas materai, sehingga menurutnya kedua pihak seharusnya dimintai keterangan secara seimbang.


“Jika kita bicara soal tanggung jawab hukum atas proses penyaluran dana hibah yang menimbulkan kerugian negara, maka kedua belah pihak yang melakukan tanda tangan dalam naskah perjanjian tersebut harus diperiksa, karena jelas ada keterlibatan langsung dalam proses tersebut secara berjamaah,” pungkas Vebry.


(Yudi barik)

Lebih baru Lebih lama